Selasa, 19 April 2016

sejarah tobelo


Ø  Suku Tobelo
Suku Dunia ~ Orang Tobelo berdiam di daerah semenanjung bagian utara Pulau Halmahera dan di sebagian daratan Pulau Morotai. Sebagian lagi hidup tersebar sampai ke pedalaman Halmahera, seperti ke daerah Patani, Weda dan Gane. Ada juga yang sampai ke Kepulauan Raja Ampat dekat Papua. Daerah asal mereka termasuk dalam wilayah Kecamatan Galela di Kabupaten Maluku Utara, Provinsi Maluku. Jumlah populasinya sekitar 20.000 jiwa.

Ø  Bahasa Suku Tobelo
Pada zaman dulu orang Tobelo terkenal sebagai pelaut yang berani dan ulet. Bahasa Tobelo tidak termasuk ke dalam kelompok bahasa Austronesia, tapi lebih dekat kepada kelompok bahasa Papua. Bahasa Tobelo berdekatan sekali dengan bahasa suku bangsa Galela dan Tobaru.

Ø  Mata Pencaharian Suku Tobelo
Pada dasarnya mata pencaharian utama orang Tobelo adalah bertani di ladang, dengan tanaman pokok padi dan jagung, diikuti dengan tanaman lain seperti sayur, kacang-kacangan, pisang, tebu. Selain itu mereka menangkap ikan di laut atau berburu binatang liar seperti rusa, babi hutan dengan menggunakan tombak dan jerat serta dibantu oleh anjing. Mereka juga meramu hasil hutan seperti rotan dan damar, selain berkebun cengkeh, pala, dan kelapa.

Ø  Masyarakat Suku Tobelo
Orang Tobelo menghitung hubungan keturunan berdasarkan garis ayah (patrilineal), dengan pola menetap setelah kawin yang patrilokal, tapi pada masa sekarang cenderung untuk lebih neolokal. Namun dalam kehidupan sehari-hari mereka selalu menjaga hubungan bilateral dalam kekerabatannya, sehingga ahli asing ada yang beranggapan bahwa sistem kekerabatan orang Tobelo adalah bilateral.


Ø  Rumah Adat

Secara harafiyah, Hibua Lamo artinya Rumah Besar (Hibua = Rumah) dan (Lamo = Besar). Nama rumah adat yang diambil dari bahasa adat Halut ini, ternyata sudah ada sejak 600 tahun lalu. Tapi kemudian punah terkikis oleh perkembangan jaman, mulai dari pergolakan penjajahan hingga masuk pada masa orde baru (orba) yang segala sesuatu yang bersifat dengan pemerintahan harus diselesaikan di Balai Desa.
Rumah adat Hibualamo yang sudah melekat di 10 Hoana (Modole, Pagu, Lina, Towliiko, Boeng, Huboto, Mumulati, Gura, Morodina dan Morodai)  Halut ini, pada awalnya digunakan sebagai tempat untuk berdiskusi, musyarawarah dan hingga bermufakat oleh warga Adat termasuk didalamnya menyelesaikan urusan pemerintahan yang terjadi di Desa. Namun, seiring dengan kondisi daerah sejak masa penjajah yang mana hadirnya kantor Desa, maka keberadaan Hibua Lamo perlahan-lahan mulai punah.

Hibualamo sendiri mulai ada sejak tahun 600 Masehi dimana, disetiap desa yang ada di 10 Hona terdapat Hibua Lamo. Masuk pada 1606, oleh VOC membombardir seluruh Hibualamo dan pusat kerajaan Moro yang kala itu berpusat di Desa Mede (Keratonnya Berarsitektur Hibualamo). Serangan itu, lalu pada 1926 lewat musyawarah pemangku adat dari Tobelo Galela dan Kao kembali membangun rumah adat mereka di desa Gamsungi untuk mempertahankan ekstistensi hibua lamo.

Namun, masuknya penjajah Jepang, kembali membuat Hibualamo yang sudah dibuat itu dihancurkan lagi. “Lokasi rumah adat Hibualamo yang ada di Desa Gamsungi saat sekarang berada ditempat dibangunnya Hotel Presiden,” ungkap Jesayas Banari pemengku adat Tobelo-Galela yang saat ini dalam kehidupannya selalu disibukkan dengan kegiatan-kegitan adat dari 10 Hoana yang mendiami Halut.

Pada saat kemerdekaan Republik Indonesia yakni antara tahun 1945-1950, para pemangku adat Tobelo kembali membangun Hibulamo. Namun kali ini, lokasi yang dipilih yakni di Jalan Halu Desa Gosoma.

Sayangnya, karena pada masa pemerintahan orde baru yang semua kepentingan pemerintah masuk dalam tatanan masyarakat, maka fungsi Hibualamo pun mengalami kemerosotan. Segala urusan yang terjadi di Desa, saat itu proses penyelsaiannya pun diselesaikan di kantor desa, tidak lagi di Hibua Lamo seperti biasaya.
“Semua kepentingan dan urusan pemerintahan desa masuk ke balai desa dan rumah adat Hibualamo habis termakan oleh waktu,” kata Jesayas.
Kemudian pada 1995, pemerintah Kecamatan Tobelo kembali membangun panggung terbuka di lapangan Ampera dengan nama Hibulamo. Saat itu pula komplek Lapangan Ampera disebut Hibualamo. Dan akhirnya hingga saat ini kompleks itu dinamakan Hibulamo hingga masuk masa kelam yakni konflik horizontal tahun 1999.
Pasca konflik, warga adat yang tergabung dalam 10 hoana pun bersepakat untuk mendeklarasikan perdamaian tepatnya pada 19 April 2001. Dimana, salah satu point dalam deklarasi itu, sebagai simbol perdamaian, mereka bersepakat untuk membangun kembali rumah adat Hibualamo di lokasi yang saat ini berdiri hibualamo.

Proses pembangunan hibualamo di jantung Kota Tobelo sendiri, pun mulai dilakukan Pemda bersama komunitas 10 hoana di Halut. Dan pada tahun 2007, rumah adat yang menelan angaran ratusan juta rupiah itu, diresmikan Bupati Halut pertama yang dipilih langsung oleh rakyat Halut pasca pemekaran yakni Hein Namoemo bersama wakilnya Arifin Neka saat itu. “Jadi, selain tempat berdiskusi dan melaksanakan kegiatan adat, Hibualamo juga merupakan aikon perdamaian masyarakat Halut saat konflik yang pernah terjadi di 1999,” akuinya.

Kegiatan adat yang biasanya dilangsungkan di Hibua Lamo selain tempat musyawarah, juga sebagai tempat perayaan upacara adat saat masuknya masa tanam dan panen. Bahkan termasuk menjemput tamu dan prosesi adat perkawinan juga sering digelar disana.
“Begitu juga keputusan dalam bentuk sangsi seperti denda adat yang keluar dari Rumah Hibualmo bersifat mengikat karena keputusannya paling tinggi,” terang Jesaya.

Secara arsitektur, bentuk rumah adat Hibualamo memang lain dari yang lain. Bahkan, setiap simbol yang melekat di fisik bangunan memiliki makna tersendiri. Hibualamo yang oleh suku Galela menyebutnya dengan nama Sibualamo, memiliki ciri khusus berbentuk segi 8. Dengan 4 pintu masuk sebagai simbol empat penjuru mata angin dan semua orang yang ada didalammnya saling duduk berhadapan, yang mengilhami makna filosofi.
“Artinya tidak membeda-bedakan satu dengan yang lain, dalam kiasan disebutkan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi,” tegas dia.

Hibualamo sendiri tidak menutupi keberagaman dengan membuka ruang bagi siapa saja dari suku lain yang ada di Halut. Dan itu tercermin pada konstruksi rumah yang dipercaya masyarakat adat sebagi tempat pemersatu.
Bagi komunitas adat Tobelo dan Bangsaha Galela yang tinggal di pesisir, simbul rumah adatnya perahu. Inilah yang membuat konstruksi rumah adat yang berbentuk seperti perahu karena menunjukan kehidupan kemaritiman suku Tobelo dan Galela yang ada di pesisir.

Sementara, suku Tobelo-Galela yang menetap di pedalaman simbol yang terlihat pada rumah adat mereka dari binatang seperti Ular, Burung dan Buaya.
“Warna yang dominan pada rumah adat Hibualamo ada 4 dengan makna filosofis yang berbeda. Warna hitam melambangkan solidaritas, merah melambangkan semangat juang komunitas Canga. Sedangakan kuning melambangkan kecerdasan, kemegahan dan kekayaan. Dan warna putih melambangkan kesucian masyarakat 10 Hoana yang saat ini mendiami wilayah Halut,” jelasnya.

Menurut Jesayas, semangat Hibualamo pada masa kekinian harus terpatri pada semangat-semangat kebersamaan, keanekaragaman dalam balutan kebinekaan. Karena semangat kenusantaraan yang ada di Halut sudah lama dilakukan di rumah adat Hibualamo.
Lebih lanjut dia juga mengatakan, konsep pemberdayaan adat Halut dengan pemerintah juga diwujudkan dalam bentuk lambang daerah Halut yang selama ini dipakai.
“Lambang Hibualamo yang ada pada logo daerah merupakan bentuk perekat. Saya juga berharap supaya kedepan semangat-semangat itu bisa tetap terjaga,” pintanya.

Fungsi Hibualamo sebagai simbol rekonsiliasi damai di bumi Halmahera saat dilanda kondlik horisontal 11 tahun silam, juga diakui Bupati Halut. Dengan simbol itu, warga Halut mendeklarasi untuk tidak lagi melakukan kerusuhan dan hidup berdampingan.
“Rumah adat Hibulamo tidak ansih untuk kegiatan adat tapi telah menjadi wadah rekonsiliasi di bumi Halmahera,” ujar Bupati Hein Selasa (19/4).
Hein juga mengisahkan, saat kerusuhan akan terjadi para pemuka agama dan para tokoh adat yang ada di Halut dan didalammnya termasuk dirinya bersama Adhan Alim Kadis Perhubungan (Kadishub) sudah berusaha untuk melerai dengan mengampanyekan perdamaian.

Namun, gagal dan kedua kelompok itu harus berpisah untuk sementara waktu dengan mengungsi, seakan-seakan saling bermusuhan dengan saling mencurigai.
“Tepatnya 19 April 2001 warga masyarakat Tobelo dan sekitarnya bersumpah untuk meninggalkan masa kelabu dan berjanji untuk menghentikan kerusuhan,” ucapnya.

Dan dengan keyakinan adat adalah perekat dari semua keyakinan mereka pun menggelar upacara deklarasi damai. Dari pihak Nasrani digagas langsung oleh Hein Namotemo (Malut Award juga menobatkan dia sebagai tokoh Perdamaian di Malut) yang saat itu menjabat sebagai Camat Tobelo, sedangkan dari kalangan Muslim digagas oleh Najib dan Muhlis Baba. Pertemuan dalam deklarasi itu pun didengungkan dan mengangkat adat untuk dijadikan sarana perdamaian kemudian berjalan damai hingga sekarang.



Ø  MAKANAN TRADISIONAL

Masakan nusantara begitu beraneka ragam. Salah satu kuliner yang patut dicoba adalah kuliner khas ala Tobelo, Halmahera Utara. Masakan ini bernama Ola-ola. Masyarakat Tobelo biasa menyantap Ola-ola saat perhelatan upacara adat. 

Ola-ola terdiri dari beberapa macam menu diantaranya: ubi kayu rebus (kaspi), ubi jalar rebus (batata), ubi kayu diparut bakar (baboko), sayur paku dan bunga pepaya, kuah santan, sayur popare, sayur ganemo, ikan kuah asam. Berbagai menu ini disantap dengan cara dicampur bersama. Rasanya lezat dan penuh cita rasa nusantara. Apalagi rasa legit kuah santan ola-ola yang terbuat dari campuran santan dengan potongan ikan cakalang, semakin membuat santapan ini beraneka rasa.

Penyajian Ola-ola menggunakan piring terbuat dari daun Wako. Daun wako hanya tumbuh di daerah Tobelo. Para orang tua di Tobelo selalu menyajikan makanan menggunakan piring berbahan daun wako saat acara adat. Konon, bentuk perahu pada piring diambil dari bentuk rumah adat di Tobelo. Walaupun terbuat dari daun, tapi piring ini tidak mudah sobek atau bocor saat diisi makanan berkuah.

Sebagai pelengkap menu utama, masih ada beberapa kudapan khas Tobelo. Pisang goreng mulu bebe, air goraka, waji boteme yang terbuat dari olahan gula merah bercapur santan. Pisang mulu bebe (mulut bebek) tidak ditemukan di sembarang tempat. Seperti halnya daun wako, pisang ini hanya tumbuh di daerah Halmahera Utara. Pisang bisa disajikan dengan dibakar atau direbus, kemudian dicampur dengan santan. Dipastikan, kelezatan kuliner khas Tobelo mampu menggoyang lidah anda.

Ø  Wisata tobelo

Kabupaten Halmahera Utara adalah salah satu kabupaten di provinsi Maluku Utara, Indonesia.Sejak dulu suku-suku di Halmahera Utara telah mengenal istilah O Dumule (bahasa Tobelo) dan De O Doro (bahasa Galela) yang artinya bertanam di kebun. Secara turun temurun telah dikenal berbagai jenis pisang dan umbi-umbian sebagai tanaman hasil pertanian, juga dikenal sistem berladang padi gogo. Masyarakat Halmahera Utarajuga mengenal cara meramu pohon sagu untuk diambil patinya.
Informasi Beberapa Objek Wisata Di Halmahera Utara:

Ø  Pulau Tagalaya
https://wisatamaluku.files.wordpress.com/2012/04/tagalaya.jpeg?w=448&h=165

Pulau Tagalaya merupakan satu dari gugusan pulau-pulau kecil yang tersebar di depan kota Tobelo.pulau tagalaya dapat di tempuh Dari pelabuhan Tobelo,tersedia transportasi umum dengan menggunakan perahu tradisional,untuk sampai ke Pulau tagalaya memerlukan waktu sekitar ± 20 menit perjalanan.
jalur Alternatif lain adalah dengan menyewa speedboat. Pulau Tagalaya memiliki arus laut yang tenang dengan hamparan pantai berpasir putih luas yang mengelilingi pulau. Di ujung utara pulau ini terdapat bebatuan karang yang indah.
Terumbu karang dan beragam biota laut yang berada di kedalaman antara 2-10 meter dalam kondisi baik dapat ditemui diperairan pulau tagalaya ini. Pepohonan bakau yang tumbuh di atas pasir putih dan terumbu karang yang dapat dijumpai di sekitar akar bahar akan memberikan pengalaman tersendiri bagi anda yang senang menyelam.Pulau tagalaya sangat pas buat liburan di akhir pekan bersama keluarga
Ø  Pulau Dodola
https://wisatamaluku.files.wordpress.com/2012/04/pulau-dodola.jpg?w=447&h=231
Pulau Dodola berjarak hanya 5 mil dari Daruba,ibukota Kecamatan MorotaiSelatan.Pulau Dodola merupakan salah satu alasan mengapa para wisatawan datang berkunjung ke Morotai.
Pulau ini dikelilingi oleh hamparan pantai berpasir putih yang sangat luas yang menghubungkan Pulau Dodola Besar dan Dodola Kecil.
Di sini wisatawan dapat menemukan pasir putih dengan dua tipe berbeda, kasar dan halus. Panorama alam sekitar dan airnya yang jernih sangat cocok untuk bersantai, berenang dan menyelam bersama keluarga di akhir pekan. Terdapat juga pulau-pulau lain di sekitar Dodola yang dapat anda jelajahi.
Untuk mencapai pulau dodola wisatawan dapat menggunakan kapal penumpang,dari Tobelo menuju daruba,dan melanjutkan dengan menggunakan seedboat menuju Pulau Dodola yang memakan waktu tempuh sekitar 20 menit.
Selain keindahan alamnya, Dodola juga menyimpan banyak kenangan sejarah Perang Dunia II. Menurut para saksi sejarah, dahulu tempat ini sering dikunjungi Jendral McArthur dan pasukannya untuk berwisata.
terletak di sebelah timur Pulau Kakara atau barat Pulau Tagalaya dan dapat dicapai dari pelabuhan Tobelo.untuk mencapai Pulau


Ø  Senjata tradisional
Sejarah Parang Salawaku
PARANG DAN SALAWAKU, Merupakan senjata tradisional khas daerah Maluku. Kedua senjata ini biasanya dipakai oleh para penari pria saat mempertunjukkan tarian Cakalele. Pada salawaku terdapat ukiran-ukiran bermakna khusus yang terbuat dari kulit kerang laut. Ukuran parang dan salawaku sangat bervariasi tergantung postur badan sang penari. Masyarakat pulau Kakara B di Halmahera Utara terkenal sebagai pengrajin salawaku yang piawai.
Keunikan setiap senjata tradisional itu bisa terlihat dari bentuk, pemilihan bahan, teknik pembuatannya, atau hiasan yang dipergunakan dalam senjata tersebut.
Bentuknya yang cukup unik karena senjata ini merupakan senjata yang lengkap. Parang Salawaku sudah merupakan satu paket senjata tradisonal Maluku. Senjata ini terdiri dari parang dan perisai.
Parang Salawaku menjadi senjata khusus yang sering dipergunakan oleh penduduk asli Maluku dalam berperang melawan musuh. Salah satu perang yang mempergunakan senjata ini adalah ketika Kapitan Patimura dan rakyatnya perang melawan tentara Belanda.
Jika melihat arti dari penamaan senjata tradisional ini, terdiri dari kata parang dan salawaku.


Parang berarti pisau besar, biasanya memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari pisau, namun lebih pendek jika dibandingkan dengan pedang. Salawaku sendiri memiliki arti perisai. Perisai adalah alat yang dipergunakan untuk melindungi diri dan untuk menangkis serangan senjata lawan.
Alat yang dijadikan senjatanya adalah parang. Parang ini dipergunakan sebagai senjata untuk melakukan penyerangan terhadap lawan. Sedangkan Salawaku sebagai perisai yang fungsi utamanya adalah untuk alat pertahanan dari serangan lawan.
Selain itu senjata tradisional Maluku ini juga sering kali dipergunakan untuk alat berburu binatang kala ada dihutan. Pada masa sekarang Parang Salawaku biasanya dipergunakan untuk melengkapi pakaian penari dan atau untuk upacara perkawinan.
Parang biasanya terbuat dari bahan besi yang keras berukuran 90 sampai dengan 100 cm, ukuran ini disesuaikan dengan tinggi badan si pemilik. Jadi sangat beragam ukurannya. Parang ini juga memiliki kepala yang terbuat dari kayu keras, seperti kayu besi.
Salawaku terbuat dari kayu yang dilapisi oleh pernak-pernik khusus yang diberi motif untuk menghiasinya. Tidak sembarang motif yang dipergunakan dan biasanya motif yang berlambangkan keberanian. Simbol keberanian ini membuat penggunanya memiliki keberanian yang sama dalam berperang melawan musuh. Motif-motif indah yang menghiasi Salawaku ini terbuat dari kulit kerang laut.
Proses yang yang terpenting dalam pembuatannya adalah ketika senjata ini dimantrai oleh Kapitan atau panglima perang. Dengan mantra ini, konon membuat Parang Salawaku tidak dapat tembus oleh peluru, karenanya para prajurit Kapitan Patimura berani maju melawan penjajah Belanda untuk melakukan perlawanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar